Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wacana menginterpelasi Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan

Wacana menginterpelasi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, yang digagas sejumlah anggota DPR kini menjadi polemik. Ada yang mendukung, tapi tidak sedikit pula yang menolaknya.

Ketua DPP Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, termasuk yang tidak setuju. Di matanya, rencana interpelasi terhadap Dahlan Iskan sudah berlebihan. Sebab, masih ada mekanisme lain dalam menyampaikan kritik yang konstruktif.

"Misalnya, melalui rapat kerja sebagai manifestasi dari fungsi pengawasan DPR, antara Menteri BUMN dan Komisi VI DPR. Lewat mekanisme rapat kerja, tentu yang bersifat konstruktif, bukan sekadar 'menghakimi', apalagi bermotif 'mendongkel' menteri," kata Didi dalam pesannya yang diterima media, Minggu 15 April 2012.

Sebelumnya, sebanyak 38 anggota DPR dipimpin Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, telah mengajukan hak interpelasi ke pimpinan DPR untuk mendapat penjelasan dari pemerintah atas kebijakan Dahlan menerbitkan Keputusan Menteri Nomor KEP-236/MBU/2011, yang mendelegasikan sebagian wewenang Menteri BUMN --selaku perwakilan pemegang saham BUMN dari pemerintah-- kepada pejabat eselon I, dewan komisaris, dan direksi BUMN.

Melalui Kepmen tersebut, Dahlan melakukan pemangkasan birokrasi, seperti penunjukan direksi BUMN tanpa melalui mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS) dan tanpa mekanisme tim penilai akhir (TPA). Cara Dahlan ini telah dilakukan dalam kasus penunjukan langsung direksi PT Garuda Indonesia Tbk, PT Pelni, PT RNI, dan PT Perkebunan Nusantara III (Holding).

Didi menilai Keputusan Menteri BUMN yang dipermasalahkan itu merupakan terobosan untuk mengurai kerumitan birokrasi, sekaligus meningkatkan efektivitas pengurusan BUMN dan kinerja BUMN.

Melalui Keputusan Menteri BUMN, yang mendelegasikan sebagian wewenang Menteri BUMN itu, Menteri BUMN akan lebih fokus untuk mengurusi hal-hal yang lebih strategis, seperti revitalisasi BUMN dengan kinerja sangat buruk dan aset-aset BUMN yang tidak produktif dan idle.

Jika tidak berkenan dengan kebijakan pemangkasan birokrasi di tubuh Kementerian BUMN ini, menurut Didi, bisa dikomunikasikan, didialogkan, ataupun dikaji secara cermat dan teliti antara Komisi VI DPR serta Menteri BUMN, baik dari aspek hukum, ekonomi, maupun reformasi birokrasi.

"Sebab berlebihan jika dengan pendelegasian wewenang itu, maka pengurus (direksi) BUMN bakal bisa sembarangan menjual aset BUMN," kata Didi.

Sebab, kalaupun ada rencana penjualan aset BUMN, tentu harus diketahui lebih dulu oleh Menteri BUMN. Menteri BUMN juga tidak akan sembarangan memutuskan penjualan aset BUMN. "Kalaupun aset BUMN hendak dijual atau dilepas, tentu Menteri BUMN juga akan menempuh upaya sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku," katanya.